Bahan Bakar Alternatif Murah Pengganti Solar: Tinggal Tanam!
Siang
hingga petang kemarin, auditorium Sekolah Bisnis dan Manajemen (SBM)
ITB tampak dipenuhi oleh banyak peneliti ITB, petinggi pemerintahan,
anggota DPR, wartawan, peneliti dari LIPI dan universitas lain, dan
peneliti dari Jepang. Tanggal 18 Dsember 2012, bahan bakar baru yang
ramah lingkungan diperkenalkan. Bahan bakar yang dikembangkan oleh para
peneliti di ITB dan Mitsubishi Research Institute ini hanya
menggunakan minyak hasil ekstraksi pohon jarak atau secara ilmiah
dikenal dengan jatropha. Minyak dari biji jarak ini dapat digunakan
sebagai pengganti langsung minyak solar yang digunakan untuk mesin
diesel.
Pengembangan proyek penelitian ini dimulai tahun 2004, dengan disponsori
oleh NEDO, New Energy and Technology Development Organization. Sebagai
daerah penyuplai biji jarak, dipilihlah NTT karena memang pohon jarak
ini banyak tumbuh liar di NTT. Selama ini, selain tumbuh liar di banyak
lahan tidur di NTT, oleh masyarakat NTT, pohon jarak hanya digunakan
sebagai tanaman pagar. "Dulu juga sempat menjadi alat penerangan," ujar
Frans Lebu Raya, Wakil Gubernur NTT yang hadir, "Biji pohon jarak
ditusuk-tusuk seperti sate lalu dibakar." Secara budaya, pohon jarak
memang sudah akrab dengan masyarakat NTT. Selain ini, pohon jarak juga
diketahui memeiliki daya pengobatan, terutama untuk penyakit kulit,
mengurangi rasa sakit, dan obat pencahar. Namun, kehadiran minyak tanah
dan solar yang disubsidi membuat masyarakat NTT -dan masyarakat
Indonesia keseluruhan- melupakan tumbuhan yang menyimpan potensi besar
ini.
Hasil uji kinerja minyak jarak ini memang menakjubkan. Minyak jarak
murni (straight jatropha oil) BD 100 akan memiliki kinerja yang sama
dengan minyak solar. Pihak pemerintah pusat sendiri, kemarin, antara
lain diwakili oleh Dr Yogo Pratomo, Dirjen Departemen Energi dan Sumber
Daya Mineral, Direktorat Jendral Listrik dan Pemanfaatan Energi serta
Dr. Luluk Sumiarso, Sekretaris Jentral Departemen Energi dan Sumber Daya
Mineral, mengungkapkan janji bahwa pemerintah akan membantu
pengembangan dan sosialisasi bahan bakar alternatif ini. Hal ini
terutama didukung oleh harga produksi minyak jarak yang bersaing dengan
harga minyak solar tanpa subsidi. Harga produksi minyak jarak ini
maksimum Rp 1000/kg, sementara itu, harga solar tanpa subsidi mencapai
Rp 1600/kg. "Yang perlu dipikirkan tentunya tinggal kestabilan suplai
minyak jarak ini," ungkap Yogo.
Mindu Sianipar, ketua komisi IV DPR yang salah satu tugasnya mengurus
masalah pertanian juga sangat mendukung dan berterimakasih pada para
peneliti dari ITB dan Mitsubishi. "Ini bukan cuma masalah bisnis," ujar
Mindu, "tapi juga membantu masyarakat desa." Dalam kesempatan ini,
Mindu juga berharap penggunaan minyak jarak untuk digunakan sebagai
bahan bakar mesin diesel kapal-kapal nelayan. Hal yang perlu dipikirkan
juga adalah payung hukum bagi produk ini. "UU Migas akan membuat
Pertamina mengintervensi produk ini," ujar Mardjono, salah satu anggota
komisi IV DPR yang lain, "Seharusnya keuntungan produk ini bisa
digunakan semaksimal mungkin untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat miskin pedesaan."
Penelitian yang dikepalai oleh Dr. Robert Manurung, dari Departemen
Teknik Kimia ITB ini merupakan salah satu dari beberapa energi
alternatif yang memang dikembangkan oleh ITB "Kami mengembangkan juga
bahan bakar alternatif lain. Misalnya biodiesel dan bahan bakar etanol
dari singkong," ujar Dr. Iman Reksowardojo, kepala Laboratorium Motor
Bakar dan Propulsi, Departemen Teknik Mesin ITB, yang juga salah satu
anggota tim peneliti minyak jarak ini.
Menurut Robert, keunggulan utama minyak jarak adalah pengolahannya yang
murah dan sederhana. "Mesin biodiesel pun sulit pengoperasiannya,"
tandasnya, "Instalasinya tidak bisa dilakukan oleh petani. Dengan minyak
jarak, tidak perlu ganti mesin, cukup dengan mesin diesel biasa. Ganti
saja minyak solar dengan diesel, itu saja."
Satu lagi sumbangan besar dari ITB untuk bangsa terungkap kemarin. Di
tengah isu pengurangan subsidi BBM, bahan bakar murah dan ramah
lingkungan karya peneliti ITB ini akan memberikan angin segar bagi
bangsa Indonesia, khususnya masyarakat ekonomi lemah yang tergantung
dengan solar, seperti nelayan untuk kapal motornya dan petani untuk
penggilingan padinya. Sementara itu, lahan tidur, khususnya di
bagian-bagian Indonesia Timur akan dapat difungsikan sebagai daerah
budidaya jarak yang teroganisir. Tentunya ini akan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat di daerah itu. Tidak perlu menambang lagi.
Cukup menanam saja!
Sumber http://www.itb.ac.id/news/424.xhtml
URI:http://www.itb.ac.id/news/trackback/424
Tidak ada komentar:
Posting Komentar