Selasa, 22 Januari 2013

apa arti kemajuan ekonomi indonesia?

“Apa arti kemajuan dalam perekonomian Indonesia?” begitu kira kira pertanyaan Bu Oemi. Saya pun segera tahu bahwa ini bukan pertanyaan mudah, karena dia adalah mantan dosen saya. Karena tak kunjung mendapatkan jawaban yang tepat, saya pun sekenanya menjawab “Perekonomian Indonesia dikatakan telah maju antara lain bila terjadi peningkatan penjualan mobil dan konsumsi semen.” Bu Oemi terheran-heran, “Benar itu? Anda bercanda?” Saya katakan saya agak bercanda, tetapi itu serius. Dua variabel itu memang sering dipakai dalam mengukur kemajuan ekonomi kita. Setelah kami berpisah, pertanyaan Bu Oemi terus mengganggu saya. Apa arti kemajuan perekonomian Indonesia? Apanya yang maju? Siapa yang maju? Kenapa disebut maju? Saya belum sempat mengatakan ke Bu Oemi bahwa Indonesia menggunakan variabel yang disebut coincident economic index (CEI),yang mengukur apa yang terjadi dengan perekonomian saat ini, saat variabel itu diukur.Variabel ini diukur antara lain dengan penjualan mobil dan konsumsi semen. Makin banyak penjualan mobil dan konsumsi semen, makin baiklah perekonomian kita. Sejak Februari 2009, indeks ini terus menguat, yang berarti perekonomian Indonesia terus membaik. “Mengapa penjualan mobil dan konsumsi semen merupakan indikator perbaikan ekonomi Indonesia?” terbayang Bu Oemi akan mengajukan pertanyaan itu. “Sebab, selama ini terjadi korelasi kuat antara CEI dengan pertumbuhan produksi nasional, atau yang sering disebut juga dengan pertumbuhan pendapatan nasional.” “Kalau pengukurnya antara lain penjualan mobil, berarti kemacetan lalu lintas menandakan kemajuan perekonomian?” Bu Oemi menyela lagi. “Betul Bu” jawab saya. “Lihat saja di banyak daerah dan di pedesaan. Orang akan bangga kalau daerahnya makin ramai dengan kendaraan. Mereka tidak peduli dengan kepadatan kendaraan dan polusi udara serta suara bising karena kendaraan.” Bu Oemi sedih mendengar jawaban saya. “Anda tadi juga menyebutkan bahwa konsumsi semen termasuk salah satu indikator perbaikan ekonomi Indonesia?” “Ya,Bu. Artinya, makin banyak gedung dibuat, makin banyak tanah tertutup semen, makin baiklah perekonomian kita.” “Jadi, banjir dan macet di Jakarta itu pertanda makin majunya perekonomian Jakarta?” tanya Bu Oemi “Ekonom kok aneh ya?” Itu belum terlalu aneh, saya melanjutkan, ada lagi variabel yang disebut leading economic index (LEI). Indeks ini untuk melihat apakah ekonomi akan maju dalam enam sampai12 bulan ke depan. Salahsatu variabelnya adalah izin mendirikan bangunan. Makin banyak izin dikeluarkan untuk mendirikan bangunan, perekonomian diharapkan akan terus berkembang dalam 6–12 bulan ke depan. “Maka, Ibu jangan kaget kalau Jakarta terus-menerus banjir dan macet.” Terbayang, Bu Oemi ingin mendengar yang “lucu-lucu” lagi mengenai perekonomian Indonesia. Maka, saya ceritakan bahwa perekonomian Indonesia juga dikatakan sudah semakin maju kalau kita makin sering melihat turis asing di Indonesia. Kedatangan turis asing memang merupakan salah satu pengukur LEI. Meningkatnya jumlah turis dalam negeri tidak penting untuk perekonomian Indonesia. “Jadi, itu yang namanya kemajuan perekonomian Indonesia? Tetapi, apa arti pembangunan ekonomi? Bukankah pembangunan ekonomi bukan sekadar pertumbuhan ekonomi? Ekonomi yang tumbuh pesat apakah berarti masyarakat tambah sejahtera?” Itu mungkin pertanyaan yang akan diajukan oleh Bu Oemi. Karena saya belum tahu bagaimana menjawab pertanyaan itu, saya akan ceritakan ke Bu Oemi, bahwa perekonomian akan terus membaik bila masyarakat bertingkah laku yang boros. Bila masyarakat tidak suka menabung, tetapi suka pinjam,pinjam,dan pinjam; kemudian, belanja,belanja,dan belanja, maka perekonomian akan membaik. Salah satu pengukur kemajuan perekonomian adalah indeks kepercayaan konsumen. Indeks ini makin tinggi bila konsumen optimistis. Konsumen yang optimistis artinya konsumen yang makin berani berbelanja. “Jadi, kita dianjurkan untuk boros?” sela Bu Oemi. Ekonom tak pernah bicara secara terang-terangan bahwa masyarakat harus boros. Tetapi, mereka akan senang bila masyarakat banyak berbelanja. Apalagi, di Indonesia, konsumsi rumah tangga menunjang kira-kira 60% pendapatan nasional. Coba lihat kebijakan pemerintah yang menurunkan suku bunga, atau membuat suku bunga tetap rendah. Tujuannya adalah agar orang lebih banyak meminjam. Suku bunga yang rendah sesungguhnya adalah hukuman untuk orang yang suka menabung, apalagi di tengah cepatnya kenaikan harga. “Bagaimana dengan kesejahteraan masyarakat Indonesia? Bagaimana dengan derajat kesehatan, tingkat pendidikan, kerusakan lingkungan, frustrasi karena macet, rasa aman, dan jaminan sosial termasuk jaminan hidup di masa tua?” terlintas Bu Oemi akan mengajukan pertanyaan ini. “Sebagian besar ekonom, termasuk yang di Indonesia, sudah sadar bahwa pembangunan ekonomi bukan sekadar pertumbuhan ekonomi. Kami semua sudah belajar akan hal itu. Tetapi, ketika tiba pada pengukuran pembangunan ekonomi, banyak di antara kami yang terjebak dengan konsentrasi pada pertumbuhan ekonomi. Akibatnya, muncul pengukuran dengan variabel yang lucu-lucu tadi, seperti penjualan mobil, penjualan semen, jumlah izin mendirikan bangunan, dan jumlah turis asing.Variabel itu dipilih semata karena variabel ini berkorelasi kuat dengan pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Orientasinya memang pertumbuhan ekonomi. Dampak negatif tidak dilihat sama sekali.” Saya lalu ingat pada pengajaran ilmu ekonomi di banyak negara, termasuk Indonesia. Pelajaran teori ekonomi mikro dimulai dengan kuliah bagaimana memaksimalkan kepuasan, yang sering disebut utility. Kemudian diperkenalkan pendapatan sebagai kendala utama meningkatkan kepuasan tersebut. Nah, para mahasiswa lalu belajar bahwa peningkatan pendapatan itu hal yang terpenting dalam perekonomian. Dalam teori ekonomi makro, mula-mula mahasiswa diajarkan bagaimana mengukur pendapatan nasional dengan segala kelemahannya sebagai indikator kesejahteraan. Namun, pelajaran selanjutnya tidak pernah lagi mengingat kelemahan tersebut. Semua diskusi terfokus pada bagaimana meningkatkan pendapatan nasional, tidak peduli pada dampak negatif dari proses peningkatan pendapatan nasional dan kelemahan pengukuran tersebut. “Jadi, wajar bila sebagian ekonom terobsesi dengan pertumbuhan ekonomi. ” Saya merenung, saya belum tahu apa yang harus saya jawab kalau nanti saya benar-benar bertemu Bu Oemi, “Jadi, apa arti kemajuan perekonomian Indonesia?”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar